Islam dan Kebebasan
Kebebesan
adalah sesuatu yang senantiasa diperjuangkan oleh manusia, namun tidak banyak
yang memahami realitasnya. Bagi kebanyakan orang, kebebasan bagaikan mimpi yang
sulit ditakwilkan maknanya. Budaya Barat dan demokrasi dibangun di atas
janji-janji kebebasan, tetapi mereka
gagal dalam merealisasikan visinya. Islam adalah satu-satunya ideologi yang
menjelaskan konsep kebebasan kepada manusia dalam wujud yang hakiki, dan menentukan
cara yang benar untuk meraih kebebasan tersebut. Perbandingan antara konsep
kebebasan dalam budaya demokratik Barat dan konsep kebebasan dalam ideologi
Islam akan memberikan penjelasan yang gamblang tentang masalah ini.
Sebagai
pemikiran, kebebasan dapat dipahami dalam dua pengertian: pertama, kebebasan adalah
kemerdekaan dari ikatan perbudakan
akibat adanya kekuasaan sekelompok orang atas orang lain; dan kedua, kebebasan
adalah menjalani kehidupan tanpa batasan-batasan dari siapa pun. Pada abad
pertengahan, demokrasi Barat muncul sebagai akibat dari proses pergolakan
politik Eropa dengan konsep kebebasan sebagai landasan.
Demokrasi
dimaksud untuk membebaskan manusia dari perbudakan yang dilakukan oleh para
raja dan kesewenang-wenangan kaum gerejawan. Pada masa lalu raja-raja di Eropa
menyatakan diri mereka sebagai penguasa atas seluruh rakyatnya, dan mempunyai
kedaulatan mutlak berdasarkan legitimasi yang diberikan oleh gereja. Sebagai
imbalannya, gereja berhak sepenuhnya untuk mengendalikan pemikiran rakyat,
melarang pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal, menghalang-halangi opini
yang bertentangan dengan pendapat gereja, serta memberangus keyakinan yang
bertentangan dengan dogma gereja. Akibatnya, muncul reaksi perlawanan dari para
pemikir, seperti John Locke, J. Rosseau, John Stuart Mill dan sebagainya, yang
mulai menyerukan konsep-konsep seperti kebebasan asasi, yakni kebebasan dari
belenggu kekuasaan para raja. Mereka juga menyerukan kebebasan dari campur
tangan gereja dalam berbagai urusan kehidupan, dengan mengatakan bahwa manusia
harus mempertahankan kebebasan mereka, yaitu kebebasan berbicara, berkumpul,
beragama, kebebasan dalam kepemilikan, dan sebagainya. Pergolakan ini terjadi
di Eropa: namun demikian, sebagian pergolakan juga terjadi di dunia baru
(Amerika) terhadap kekuasaan raja Inggris pada abad ke 18. Pergolakan ideologis
di Eropa dan Amerika ini akhirnya menghasilkan revolusi Perancis dan Amerika
serta berdirnya berbagai negara bangsa (nation
state) yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan.
Tetapi,
makna kebebasan yang didengung-dengungkan oleh para pemikir awal renaissance itu terbukti tidak dapat
direalisasikan. Kedaulatan para raja memang disingkirkan, tetapi kedaulatan itu
kemudian diserahkan kepada segelintir orang, seperti pemilik kapital, anggota
legislaif, dan sebagainya. Rakyat secara keseluruhan, tidak pernah berdaulat
atas diri mereka, meskipun jargon inilah yang dijanjikan kepada mereka, dan
telah mereka perjuangkan selama ini.
Lebih dari
itu untuk menciptakan ilusi bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan riil, maka
dilakukanlah pemilhan umum, dan dibentuklah lembaga perwakilan rakyat. Dalam
realitasnya hasil pemilu atau lembaga perwakilan tersebut tidak benar-benar
mencerminkan kehendak rakyat. Hal ini disebabkan karena para pemilih hanya
diberi kesempatan memilih dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan
sebelumnya, dan para wakil yang terpilih - yang merupakan bagian terkecil dari
masyarakat – adalah orang-orang yang nyaris tidak dapat berkampanye tanpa
dukungan para kapitalis. Sebuah studi yang mendalam terhadap sistem
perpolitikan juga menunjukkan bahwa yang mendominasi seluruh agenda atau
program pemerintah adalah keinginan kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Dengan demikian, jelas bahwa kedaulatan di negara-negara “demokratis” tidak
terletak di tangan rakyat, tetapi dipegang oleh pihak-pihak yang memiliki
kekayaan dan kekuasaan.
Menyerahkan
kedaulatan kepada manusia, baik itu para raja, parlemen, atau pun kongres,
dengan jelas menunjukkan adanya legitimasi bagi sekelompok orang yang memiliki
hak dan keistimewaan untuk berkuasa, sedangkan anggota masyarakat lainnya
berkewajiban untuk tunduk dan taat kepada mereka. Realitas inilah yang sekarang
sering disebut “perbudakan baru”, atau “perbudakan demokratis”. Perbudakan
model baru ini jauh lebih buruk daripada perbudakan yang terjadi pada zaman
dahulu di berbagai perkebunan, yang meninggalkan goresan luka hingga saat ini.
Karena perbudakan model baru ini direkayasa sedemikia rupa, sehingga rakyat beranggapan
bahwa diri mereka telah merdeka, bahwa mereka tidak lagi menjadi budak siapa
pun, sekalipun faktanya tidaklah demikian. Mereka tetap menjadi budak kaum
kapitalis. Rakyat terus menerima begitu saja opini yang disebarkan kaum
kapitalis; rakyat terus membeli barang-barang yang diproduksi kaum kapitalis;
dan rakyat terus meniru gaya hidup para model (selebritis) yang dibangun oleh
media massa.
Terwujudnya
kebebasan dan kemerdekaan individu dianggap masyarakat Barat sebagai puncak
keberhasilan. Kebebasan pribadi yang diberikan kepada setiap warga negara
dimaksudkan untuk memuaskan kehendak rakyat, sehingga mereka dapat menjalani
kehidupan sesuai dengan keinginannya sendiri. Penindasan yang dilakukan
institusi gereja selama abad pertengahan merupakan faktor yang paling
berpengaruh di balik seruan untuk kebebasan tersebut. Jadi, ketika kaum
kapitalis mulai berkuasa di masyarakat, mereka menghapuskan aturan yang
melarang masyarakat untuk berbicara, berpikir, dan berbuat, yang sebelumnya
ditetapkan oleh kaum gerejawan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa mereka telah
berhasil meraih kebebasan individu yang dinanti-nantikan selama ini.
Kebebasan
individu ini telah berkembang luas di masyarakat, sampai-sampai mereka tidak
lagi berpikir tentang masalah kedaulatan, karena mereka meyakini bahwa
kebebasan individu merupakan satu-satunya bentuk kebebasan yang hakiki. Namun
demikian kebebasan individu ini tidak bisa direalisasikan di tengah-tengah
masyarakat, karena kebebasan indvidu secara mutlak menghasilkan konsekuensi
bahwa tidak boleh ada hukum dan aturan yang digunakan untuk mengatur
masyarakat.
Setelah
memahami hal ini, maka para pemikir Barat memperkenalkan sebuah konsep yang
diberi nama “kontrak sosial” yang mengatakan bahwa masyarakat harus menyerahkan
sebagian kebebasannya sehingga mereka dapat hidup bersama dalam sebuah
masyarakat yang teratur. Maka, konsep kebebasan berbicara diamandemen untuk
mengecualikan sejumlah topik pembicaraan. Kebebasan berkumpul dan kebebasan
pers juga dibatasi oleh beberapa peraturan yang dibuat untuk melindungi
masyarakat. Demikian juga kebebasan beragama dibatasi semata-mata untuk menjaga
kelangsungan konsep sekularisme. Kebebasan kepemilikan pun dibatasi oleh
sejumlah regulasi perdagangan, seperti aturan impor-ekspor dan undang-undang
perpajakan. Jadi, sekali lagi, masyarakat dan urusan-urusan mereka diikat
dengan batasan-batasan atau aturan-aturan tertentu yang ditetapkan oleh lembaga
pemerintahan, yang saat ini dikuasai oleh kaum kapitalis, bukan lagi para
gerejawan atau para raja.
Bahkan
realitas kebebasan memilih pada masyarakat Barat pun tidak lebih merupakan
cerminan dari kekuatan fungsi pemasaran perusahaan. Orang-orang lebih senang
memakai pakaian yang dianggap “keren” dan sedang “in”. Kaum perempuan gemar
mengenakan rok pendek karena mereka ingin disebut sebagai seorang perempuan
yang memahami “harkat kewanitaannya”. Pihak-pihak yang yang menguasai sistem
pendidikan dan media massa menentukan semua konsep dan ukuran yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat: apa yang berharga dan apa yang tidak berharga, mana
yang sah dan mana yang tidak sah, mana yang cantik dan mana yang jelek, apa
yang pantas dan apa yang tidak pantas. Apabila ada orang yang berpikir dengan
paradigma yang berbeda dengan paradigma yang ditentukan itu, maka di mata publik ia akan dianggap layaknya
orang buangan, seorang ekstrimis, atau seorang pecundang. Inilah karakteristik
asli dari konsep kebebasan yang dikenal oleh masyarakat Barat; dan inilah fakta
riil perbudakan pemikiran.
Islam
membahas masalah kebebasan ini dengan cara yang sangat berbeda dengan
ideologi-ideologi lainnya. Islam tidak menyeruh manusia untuk meraih kedaulatan
rakyat. Islam pun tidak membuat janji-janji kosong tetang lehidupan manusia
yang tidak terkait dengan aturan-aturan masyarakat. Sebaliknya, Islam
meletakkan kebebasan manusia berada di bawah kedaulatan sang Khalik, Allah SWT.
Artinya, Allah SWT semata mempunyai hak untuk mengatur kehidupan manusia. Dialah
zat yang menciptakan seluruh umat manusia, dan Dia pulalah yang akan meminta
pertanggungjawaban manusia. Dengan menetapkan Allah SWT sebagai pemilik
kedaulatan, maka manusia akan bebas dari kungkungan hawa nafsu dan kekuasaan
orang lain. Islam memandang bahwa manusia pada hakikatnya adalah hamba dari
pihak yang menguasainya.
Jadi, jika ada indivdu yang meyakini bahwa Allah SWT
adalah pemilik kedulatan, maka ia pun menjadi hamba-Nya. Sebaliknya, jika ada
orang yang menyerahkan dirinya pada kedaulatan pihak-pihak yang tidak berhak,
maka sesungguhnya ia pun menjadi hamba thaghut-thaghut tersebut. Oleh karena
itulah, ketika seorang utusan Muslim yang datang ke Persia ditanya tentang
tujuan kedatangannya, ia pun menjawab, “Allah
mengutus kami untuk membebaskan umat manusia dari penghambaannya kepada manusia
(lain) menuju penghambaan kepada Tuhannya manusia....dan dari penindasan
agama-agama menuju pada keadilan Islam.”
Dengan demikian, Islam menjelaskan kepada manusia tentang makna hakiki
kebebasan, yakni kebebasan yang datang setelah ia memahami bahwa dirinya adalah
hamba Sang Pencipta, bukan hamba dari makhluk ciptaan-Nya.
Setelah
meletakkan kadaulatan di tangan as-Syaari’ (pembuat hukum), yaitu Allah SWT.
Islam menentukan seperangkat sistem hukum untuk mengatur masyarakat. Sistem
adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Tanpa sistem, manusia akan
hidup dalam keadaan anarkhi. Jadi, ketika seseorang telah meyakini suatu
pandangan hidup tertentu, maka aturan-aturan yang ditetapkan oleh pandangan hidup
atau ideologi tersebut tidak akan ia anggap sebagai beban, tetapi justru
merupakan sebuah kebutuhan. Sesungguhnya, sistem Islam mengatur semua urusan
individu dan masyarakat, tanpa mengorbankan salah satu atau kedua belah pihak.
Orang-orang
yang mengikuti berbagai aturan dalam sistem Islam pada hakikatnya mengikuti
wahyu dari Sang khalik, bukan dari makhluk-Nya. Karena wahyu adalah
satu-satunya sumber hukum dalam Islam, maka ini berarti bahwa Islam telah
membebaskan manusia dari belenggu hukum-hukum buatan thaghut yang mencengkram umat manusia sepanjang sejarah. Dengan
demikian, orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan tidak berhak
menentukan apakah kita boleh menjual sesuatu atau tidak. Mereka tidak berhak
menentukan apa yang harus kita kenakan. Mereka tidak berhak mengubah
undang-undang yang mengatur kehidupan umum dan kehidupan pribadi kita. Tetapi,
mereka pun terikat dengan sistem yang sama, yakni sistem yang diberikan Sang
Khalik kepada umat manusia.
Selain
adanya perbedaan yang mendasar antara perspektif Islam dan Barat tentang
kebebasan, metode yang digunakan oleh kedua ideologi untuk menjelaskan konsep
kebebasan kepada umat manusia pun sangat berlainan. Ideologi Barat diawali
dengan seruan untuk meraih kedaulatan rakyat dan kebebasan individu, baru
kemudian mereka memperbaiki filosofi dasarnya untuk menjustifikasi
aturan-aturan yang mereka tetapkan terlebih dahulu. Meski demikian, mereka
terus menyampaikan seruan tentang kebebasan yang menyesatkan, memberikan
harapan-harapan kosong kepada manusia, dan membuat mereka terus terbelenggu
dengan harapan-harapan tersebut.
Sebaliknya,
ideologi Islam memberikan penjelasan yang gamblang dan terus terang kepada umat
manusia mengenai kedudukan dan keterikatan mereka kepada hukum-hukumnya. Islam
tidak pernah memberikan gambaran yang keliru bahwa umat manusia sepenuhnya
bebas tanpa ikatan. Dengan kata lain, Islam tidak pernah menyatakan bahwa
manusia memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Islam memberikan pandangan
yang khas tentang konsep kebebasan, sehingga kedudukan individu dan masyarakat
tetap terpelihara. Islam adalah satu-satunya metode yang dapat membebaskan
manusia dari penghambaannya kepada manusia lain, sekaligus satu-satunya sarana
untuk memelihara urusan manusia, demi kebaikan dan kepentingan mereka, bukan
demi keuntungan dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Seruan Islam
bukanlah seruan yang menyesatkan sebagaimana seruan kebebasan yang
didengung-dengungkan orang Barat, melainkan seruan yang sungguh-sungguh
dibutuhkan oleh umat manusia. Islam
adalah kebebasan yang hakiki.
*****
Diadaptasi dari : Islam; Pandangan Hidup Yang
Sempurna – Abdullah – Pustaka Thariqul Izzah – Bogor (2004)
Komentar
Posting Komentar