Dari Candu Narkoba ke Candu Digital
Tiap generasi punya cara
mabuk masing-masing. Rastafara dengan ganja, kaum Assassin dengan hashish,
orang-orang hippies punya lysergic acid diethylamide alias
LSD, dan generasi milenial dengan ponsel pintarnya. Ya, mabuk
digital.
Sepanjang dekade terakhir, teknologi nyatanya mengubah banyak hal, termasuk
pola hidup manusia. Jika generasi sebelumnya senang ajojing, teler, dan
foya-foya di diskotek, maka tak begitu dengan milenial. Mayoritas generasi
ini lebih senang
leyeh-leyeh di rumah, atau pergi ke restoran, kedai kopi, atau
pertunjukan-pertunjukan seni yang keren. Mereka lebih memilih berada di tempat,
di mana mereka bisa menikmati gawai mereka dengan nyaman. Kalaupun pergi ke
tempat-tempat yang keren, umumnya karena tempat tersebut
"Instagramable" alias elok untuk di-share di sosial media.
Gawai
adalah sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari tangan para milenial. Dari bangun
tidur hingga beranjak tidur lagi, gawai tak pernah bisa dilepaskan. Gawai,
internet, adalah hal yang wajib. Di Indonesia, penggunaan internet dikuasai oleh para milenial.
Penggunaan gawai terus meningkat. Di saat yang
sama, ada tren penurunan penggunaan narkoba. Di Indonesia, dikutip dari data
Badan Nasional Narkotika, ada penurunan jumlah pengguna narkoba yang signifikan
dalam 10 tahun terakhir. Jika pada 2006, ada 7,6 persen generasi muda rentang
usia SLTP sampai Akademi atau Perguruan Tinggi yang terdata sebagai pengguna
coba-coba, maka pada 2016 angka itu turun signifikan jadi 1,6 persen.Angka pengguna narkoba teratur di rentang usia
itu bahkan hampir kandas di 2016. Dari total 4,8 persen pada 2006 menjadi hanya
0,2 persen sepuluh tahun kemudian.
Ada teori kalau penurunan ini adalah dampak dari
kampanye anti-narkoba yang gencar dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Tapi
teori yang lebih menarik menyatakan kalau penurunan popularitas obat-obatan dan
tabiat teler di kelab malam itu dikalahkan oleh candu baru generasi ini pada
internet di gawai mereka.
Survei terakhir We Are Social Januari
lalu menunjukkan kalau 91 persen orang dewasa Indonesia yang punya ponsel, dan
47 persennya menggunakan ponsel pintar. Sebanyak 21 persen menggunakan
komputer, dan tablet komputer sebanyak 5 persen. Bahkan 2 persen dari 250 juta
rakyat Indonesia memakai televisi internet di rumahnya. Hal ini memperlihatkan
pengingkatan penggunaan gawai pintar oleh manusia-manusia Indonesia.Rupanya, tak hanya di Indonesia, gejala serupa
juga terjadi di AS. Survei tahunan pemerintah mereka yang memantau
penyalahgunaan obat-obatan oleh remaja menunjukkan angka terendah selama 40
tahun terakhir. Data lain dari Subtance Abuse and Mental Health Services AS
menyebutkan, pada 2015, remaja berusia 12 hingga 17 yang merokok turun hingga
10,8 persen dari tahun 2005. Penggunaan alkohol pada rentang usia tersebut juga
turun jadi 9,6 persen dari sebelumnya 16,5 persen.
Di saat yang bersamaan, penggunaan gawai pintar
meningkat. Survei Common Sense Media pada 2015, seperti dilansir dari The New York Times bilang, remaja AS usia 13 hingga
18 rata-rata menghabiskan 6 setengah jam waktunya per hari di depan layar
gawai. Hanya saja, penggunaan itu untuk mengecek media sosial atau bermain gim
dan semacamnya. Bahkan laporan Pew Research Center pada 2015 menyebutkan,
remaja pada usia 13 hingga 17 online hampir setiap saat.
Keadaan serupa ternyata juga terjadi di Inggris.
Berdasarkan data statistik nasional mereka, tingkat penggunaan rokok, alkohol, dan narkoba pada
anak-anak berusia 11-15 turun hingga separuhnya dalam satu dekade terakhir.Lalu, benarkah milenial bisa mabuk karena
ketagihan digital ini? Jawabannya tentu tak dijawab secara harfiah. Penelitian
yang mengaitkan dua fenomena ini—tentang menurunnya jumlah pengguna
narkoba dan meningkatnya pengguna gawai digital— memang belum ada. Namun,
Nora Volkow, Direktur Institut Nasional Penyalahgunaan Obat-obatan Amerika
Serikat sedang merencanakan penelitian semacam itu. Menurutnya investigasi
untuk gejala ini akan jadi sangat menarik dan berguna nantinya.
Silvia Martins, ilmuan yang telah mengeksplorasi
studi terkait hubungan internet dan penyalahgunaan narkoba pada remaja,
menyebut teori di atas sangat masuk akal. “Main gim, berselancar lewat media
sosial telah memenuhi kebutuhan mereka untuk mencari kegiatan baru,” kata
Martins. “Tapi (teori) ini masih perlu dibuktikan,” tambahnya pada The
New York Times.
Arko Ghosh, ahli ilmu perilaku manusia dan
ponsel pintar dari Universitas Zurich, mencoba menjelaskan hipotesanya tentang
pengaruh candu digital tersebut pada manusia. “Kami tak bisa menjelaskan
setepat mungkin bagaimana ponsel pintar berdampak pada otak, tapi jelas ada
korelai menarik antara perilaku gandrung kita pada ponsel pintar dan aktivitas
di otak,” ungkapnya pada The Independent. “Rasanya intens, dan
berbeda (dari yang diciptakan kecanduan oleh narkoba). Maka mari mengukurnya
dan cari tahu seberapa bedanya.”Menurutnya, penggunaan ponsel pintar berefek
pada aspek intrinsik dalam cara kerja otak manusia, seperti bagaimana cara otak
mengontrol tangan. Katanya, “Orang yang lebih sering menggunakan ponselnya
punya aktivitas otak yang lebih tinggi dalam menanggapi sentuhan di tangan.”
Yang masih coba dicari tahu adalah, “Apakah
ponselmu yang mengubah cara kerja otak, atau malah otakmu yang mempengaruhi
caramu menggunakan ponsel secara berbeda,” kata Ghosh.
sumber : tirto.id
Komentar
Posting Komentar