MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI KERAJAAN GOWA
Menurut
Mattulada (1982) agama Islam telah sampai di Kerajaan Gowa pada masa
pemerintahan raja Gowa X, Tunipalangga (1546-1565). Mereka terdiri atas para
pedagang Melayu yang diberikan tempat bermukim di Kampung Mangallekana di
sebelah utara Benteng Somba Opu. Salah seorang tokohnya bernama Nahkoda Bonang. Kehadiran mereka seiring dengan perkembangan
Somba Opu sebagai bandar niaga yang
ramai dikunjungi para pedagang setelah Malaka direbut oleh Portugis (1511).
Pada masa pemerintahan I Manggorai Daeng
Mammeta Karaeng Bontolangkasa Raja Gowa ke 11, tepatnya pada tahun 1580 Sultan
Kerajaan Ternate yang bernama Sultan Baabullah berkunjung ke Gowa. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa pada kunjungannya itu, Sultan Baabullah berusaha
membujuk Raja Gowa untuk memeluk agama Islam tetapi tidak berhasil.
Meskipun demikian Karaeng Bontolangkasa
tetap memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan orang-orang Muslim di
Somba opu. Terbukti dengan dibangunnya
sebuah masjid di Kampung Mangallekana. Oleh
orang Muslim Masjid tersebut selain digunakan sebagai tempat ibadah mereka juga
menggunakannya sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan agama Islam walaupun
hanya dalam kalangan terbatas.
Keberhasilan
penyebaran agama Islam terjadi setelah memasuki awal abad ke 17 dengan
kehadiran tiga orang Muballig yang bergelar “Datuk” dari Minangkabau. Ketiganya
kemudian digelari Datuk Tallua (Makassar ) atau
Datuk Tellue (Bugis). Ketiga ulama ini diutus secara khusus oleh Sultan Aceh
untuk menyebarkan dan mengembangkan Islam di Sulawesi Selatan. Ketiga Datuk itu
adalah:
1)
Abdul Makmur, Khatib Tunggal yang lebih populer dengan
nama Datuk ri Bandang
2)
Sulaiman, Khatib Sulung yang lebih populer dengan nama
Datuk Patimang
3)
Abdul Jawad, Khatib Bungsu yang lebih populer dengan
nama Datuk ri Tiro.
Pada
perkembangan selanjutnya, ketiga ulama dari Minangkabau ini masing-masing
menetapkan daerah dakwah mereka. Abdul
Makmur, Khatib Tunggal mengajarkan Islam di Gowa (Bandang), Sulaiman, Khatib
Sulung mengajarkan Islam di Luwu (Patimang), sedangkan Abdul Jawad, Khatib
Bungsu mengajarkan Islam di Bulukumba (Tiro).
Pada tahun 1605 para penyebar Islam
berhasil mempengaruhi kalangan elit kerajaan Gowa-Tallo. Mangkubumi Kerajaan Gowa yakni I Mallingkaan
Daeng Manyonri Karaeng Katangka, disebut sebagai pembesar Gowa yang pertama
memeluk agama Islam beliau kemudian diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Peristiwa ini terjadi pada malam Jum’at
9 Jumadil Awal 1014 Hijriyah atau 22 September 1605 Masehi. Disusul Raja Gowa ke 14 I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang diberi
gelar Sultan Alauddin.
Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa
sudah berhasil diislamkan, dan sebagai buktinya diadakan Shalat Jum’at pertama
di Tallo yakni pada tanggal 9 Nopember 1617 Masehi atau 19 Rajab 1016 Hijriyah.
Sejak saat itu, agama Islam menjadi
agama resmi kerjaan Gowa-Tallo.
Sejak agama Islam menjadi agama resmi kerajaan maka raja Gowa Sultan Alauddin
semakin kuat kedudukannya. Sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin
(pemimpin orang –orang Islam) di Sulawesi Selatan. Beliaupun aktif menyebarkan
agama Islam ke beberapa kerajaan lain. Cara pendekatan yang dilakukan Sultan
Alauddin adalah dengan cara damai yakni dengan mengingatkan perjanjian
persaudaraan lama antara Gowa dengan negeri-negeri taklukan atau
kerajaan-kerajaan sahabat yang berbunyi antara lain : barangsiapa di antara
kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan
maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak
lainnya. Karena itu dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat
kebajikan, yaitu agama Islam maka Kerajaan Gowa meminta kepada
kerajaan-kerajaan taklukkannya untuk memeluk Islam.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh
Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke bagian timur Nusantara
telah memberikan pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan social masyarakat
yang meliputi segala aspek kehidupan, baik pendidikan, politik, ekonomi, hokum maupun dalam bidang kebudayaan.
Dalam bidang hukum misalnya, syariat Islam dimasukkan
sebagai salah unsur dari pangadakkang.
Yakni sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi
orang-orang Bugis/Makassar. Sebelum Islam datang pangadakkang ini terdiri atas
4 sendi yaitu; ade’ (adat istiadat), Rapang (pengambilan keputusan berdasarkan
perbandingan), wari’(system keprotokoleran kerajaaan), dan bicara (sistem
hukum). Kemudian bertambah
satu sendi lagi setelah Islam resmi
menjadi agama kerajaan yakni sara’ (syariat Islam). Jadi syariat Islam menjadi
salah satu unsur yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan suatu perkara.
Dalam
bidang pemerintahan, Islam berpengaruh dalam pemberian gelar “Sultan” kepada
raja Gowa-Tallo. Dalam hal pakaian, sebelum Islam diterima sebagai agama
kerajaan pakaian kebesaran wanita yang dikenal adalah baju bodo setelah Islam
masuk diganti dengan baju labbu.
Sumber
bacaan :
Daeng Patunru, Abd. Razak. 1993. Sejarah Gowa.
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan
Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar
dalam Sejarah. Ujungpandang: Bhakti Baru – Berita Utama.
Kerajaan Gowa-Tallo; Ekspedisi Islam oleh Serambi
Madinah dari Timur. Majalah Al-Wa’ie edisi Mei. Juni, dan Juli 2008
Komentar
Posting Komentar